crewpers.online - Pada tahun 1990-an, satu dolar Amerika setara dengan 3,7 hingga 8,9 Yuan. Fast forward 30 tahun kemudian, satu dolar hanya bernilai 6,9 Yuan. Gimana bisa Yuan bisa stabil kayak gitu? Nah, mari kita bahas lebih lanjut.
Jadi, dulu di tahun 1998, perjalanan bisnis ke Tiongkok itu membuka mata.
Waktu itu, kalau mau beli dolar pakai Renminbi, mahalnya minta ampun. Di kota
Tianjin, setiap dolar dihargai 14 Renminbi. Sementara saat tukar dolar ke
Renminbi, harganya 8,5. Jadi, waktu pulang, terpaksa deh tukar Yuan lagi karena
di Singapura atau Amerika, Yuan nggak laku. Beli dolar di warung jadi pilihan
meski mahal. Gilanya lagi, tahun 2018, pas balik ke sana, nilainya hampir sama
aja kayak 20 tahun lalu. Mantap, kan?
Mitra bisnis di Tiongkok bilang, “Tiongkok 30 tahun yang lalu beda dengan 5
tahun terakhir. Dulu double standard currency, sekarang sudah menyatu lagi.”
Nggak perlu penjelasan panjang, udah langsung paham.
Bermitra dengan Tiongkok selama 20 tahun membawa banyak pelajaran. Produk
sederhana dari pabrik perumahan di Pasuruan, seperti kerajinan perunggu dan
tembaga, menjadi barang yang diincar. Di sini, pengalaman double standard
currency pertama kali ditemukan. Kemudian ada juga pelajaran dari Stephanie
Kelton, murid Michael Hudson, pendiri Hudson Institute yang jadi penasehat
ekonomi Presiden Nixon tahun 70-an. Waktu itu, Amerika memutuskan melepas emas
sebagai dasar dolar dan beralih ke produksi dan trading, termasuk petroleum
sebagai createman terhadap dolar. Akibatnya, mencetak dolar tanpa emas, tanpa
underline, diganti dengan hutang proyek dan trading. Ini aplikasi MMT (Modern
Monetary Theory) yang dipromosikan Michael Hudson.
Stephanie Kelton dalam bukunya "Deficit Myth" menjelaskan bahwa
defisit neraca perdagangan yang merugi atau minus itu mitos. Selama pakai mata
uang sendiri, nggak ada yang namanya defisit. Misalnya, kalau Thailand dagang
dengan Indonesia pakai dolar, pasti ada defisit. Negara berdaulat devisanya
bukan dolar, tapi bisa dalam bentuk lain seperti emas atau mata uang negara
yang berdagang.
Di sekolah ilmu kampus, konsep defisit sering disalah artikan. Udah sekolah
jauh-jauh, tinggi-tinggi, dibilang ilmunya nggak aplikatif, sakit hati, kan?
Kembali ke Rupiah. Semua berharap Rupiah stabil seperti Renminbi. Dulu,
tahun 70-an, 1 dolar Amerika setara dengan sekitar 300-an Rupiah. Tahun 80-an
naik jadi 600-an, 1985 sekitar 1.100, tahun 95 sekitar 2.300-an, dan tahun 2009
mencapai 9.700-an. Sekarang, 2023, sekitar 15.500-an Rupiah. Dari 1985 ke 2023,
Rupiah melemah dari 1.100 ke 15.000-an. Melemah 15 kali atau 1.500%.
Strategi ke depan harus dipikirkan ulang. Masa masih mau pakai yang itu
lagi? Udah kapok. MMT bukan cuma printing money atau printing mania. Di MMT,
printing money itu langkah terakhir. Sebelumnya, ada pengenalan bunga deposito
dengan TINA (There Is No Alternative). Para pemilik uang nggak ada pilihan
selain parkir di bank tanpa dapat apa-apa. Lebih baik uang di bank keluar ke
sektor produktif.
Sebelum TINA diterapkan, pengiriman uang ke luar negeri bukan untuk
transaksi pembelian barang karna bakal kena pasal flight capital yang bisa
dipidanakan. Ada uang 5000 Triliun Rupiah pasif di bank nasional yang bisa
diaktifkan ke sektor ekonomi alami Indonesia. Menggunakan SWF (Sovereign Wealth
Fund) seperti Saudi oil dan gas yang punya 10 triliun dolar. Sebagian
dicairkan, dimajukan default ke sekarang senilai 3 triliun untuk membangun
Indonesia.
Saudi membangun sektor produktif dengan return baik. Dunia properti di
Indonesia bisa jadi contoh. Misalnya, nikel 3 triliun dolar semuanya default,
diambil 1 triliun dolar sekarang. Lima kali nilai APBN bisa diambil sekarang.
Uang muka proyek lima macam kali lipat plus infrastruktur penunjang seperti
jalan dan kereta api, tanpa hutang, tanpa ilmu kampus, pakai MMT.
Sayangnya, strategi ilmu kampus cuma menghasilkan uang dari pajak. Strategi
nikel tadi menghasilkan 40 triliun setahun dan 20 tahun lagi habis. Ilmu MMT,
akal sehat. Proyek grand desain ekonomi 22 tahun ke depan dengan 12 level cost
accounting dalam setiap produksi. Tujuan 12 level cost accounting untuk create
supply dan credit. Gitu kira-kira gambaran singkatnya. Cukup jelas, kan?
Penulis : Vivaldi Mazza
Editor : Farhan, Ghenan, Putri