Kacimuih, Camilan Tradisional Minangkabau yang Manis dan Penuh Nostalgia

 

https://images.app.goo.gl/hVGYBHfn7xvjy32K8

Apa yang terpikirkan disaat kamu mendengar kata “kacimuih?”. Apakah kamu pernah 

membayangkannya sebagai nama dari sebuah camilan? Atau justru berpikir bahwa itu hanya sekadar 

kalimat biasa yang jarang digunakan dan terdengar sehari-hari? Walaupun mungkin sangat jarang 

didengar, terutama pada masa dimana kuliner camilan dunia di dominasi oleh junk food, Kacimuih 

masih tetap eksis sebagai primadona di hati para pencinta kuliner tradisional Minangkabau. Camilan 

sederhana berbahan dasar singkong parut dan gula merah ini memiliki nama yang nyentrik ala 

Minangkabau serta segudang nilai sejarahnya.

Kacimuih berasal dari akar kata dalam bahasa Minang yang berarti “singkong parut yang diberi gula 

merah atau gula kelapa”. Dahulu, camilan ini sering menjadi menu pengganjal perut bagi masyarakat 

di Minangkabau, terutama saat pagi atau sore hari, sebelum berangkat ke sawah atau setelah lelah 

bekerja. Proses pembuatannya pun mudah dan tidak memerlukan banyak bahan, menjadikannya 

pilihan camilan ekonomis namun tetap lezat.

Disajikan dalam bentuk yang sederhana, Kacimuih biasanya disajikan selagi hangat agar gula 

merahnya sedikit meleleh, tekstur kenyal dari singkong yang telah dikukus, dipadukan dengan gula 

merah dan parutan kelapa yang memberikan sensasi manis dan gurih. Tidak hanya memberikan cita 

rasa yang unik, camilan ini juga cocok dijadikan sebagai pengganjal perut, karena singkong dapat 

dijadikan sebagai pengganti beras dan nasi, ditambah dengan cara pembuatannya yang terbilang 

cukup mudah.

Kini, di berbagai festival kuliner atau pasar tradisional di Sumatera Barat, Kacimuih kembali hadir 

dan mencuri perhatian generasi muda. Meski tampilannya sederhana, Kacimuih adalah pengingat 

akan kehangatan dapur nenek, tentang masa kecil, dan kearifan lokal yang patut dilestarikan. Sebuah 

camilan kecil yang membawa rasa besar beserta nostalgia dan cinta akan budaya sendiri



penulis: Pretti Sinta Mahendra

editor: Brenda Della Sanky

Previous Post Next Post