Apa yang terpikirkan disaat kamu mendengar kata “kacimuih?”. Apakah kamu pernah
membayangkannya sebagai nama dari sebuah camilan? Atau justru berpikir bahwa itu hanya sekadar
kalimat biasa yang jarang digunakan dan terdengar sehari-hari? Walaupun mungkin sangat jarang
didengar, terutama pada masa dimana kuliner camilan dunia di dominasi oleh junk food, Kacimuih
masih tetap eksis sebagai primadona di hati para pencinta kuliner tradisional Minangkabau. Camilan
sederhana berbahan dasar singkong parut dan gula merah ini memiliki nama yang nyentrik ala
Minangkabau serta segudang nilai sejarahnya.
Kacimuih berasal dari akar kata dalam bahasa Minang yang berarti “singkong parut yang diberi gula
merah atau gula kelapa”. Dahulu, camilan ini sering menjadi menu pengganjal perut bagi masyarakat
di Minangkabau, terutama saat pagi atau sore hari, sebelum berangkat ke sawah atau setelah lelah
bekerja. Proses pembuatannya pun mudah dan tidak memerlukan banyak bahan, menjadikannya
pilihan camilan ekonomis namun tetap lezat.
Disajikan dalam bentuk yang sederhana, Kacimuih biasanya disajikan selagi hangat agar gula
merahnya sedikit meleleh, tekstur kenyal dari singkong yang telah dikukus, dipadukan dengan gula
merah dan parutan kelapa yang memberikan sensasi manis dan gurih. Tidak hanya memberikan cita
rasa yang unik, camilan ini juga cocok dijadikan sebagai pengganjal perut, karena singkong dapat
dijadikan sebagai pengganti beras dan nasi, ditambah dengan cara pembuatannya yang terbilang
cukup mudah.
Kini, di berbagai festival kuliner atau pasar tradisional di Sumatera Barat, Kacimuih kembali hadir
dan mencuri perhatian generasi muda. Meski tampilannya sederhana, Kacimuih adalah pengingat
akan kehangatan dapur nenek, tentang masa kecil, dan kearifan lokal yang patut dilestarikan. Sebuah
camilan kecil yang membawa rasa besar beserta nostalgia dan cinta akan budaya sendiri
penulis: Pretti Sinta Mahendra
editor: Brenda Della Sanky
