Pedasnya memang menggigit, tapi di balik itu, dendeng balado
menyimpan lebih dari sekadar kelezatan. Ia adalah kisah panjang dari
dapur-dapur Minangkabau kisah tentang tradisi, cinta, dan kenangan yang
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di tengah perubahan zaman
dan gelombang modernisasi, hidangan khas Sumatera Barat ini tetap bertahan,
menyuarakan identitas yang tak lekang oleh waktu.
Dendeng balado dibuat dari irisan tipis daging sapi yang
digoreng hingga kering, lalu disiram sambal balado merah menyala, pedas
menggoda, dan sarat rasa. Bagi orang Minang, makanan ini bukan hal asing. Ia
adalah bagian dari keseharian dan juga perayaan hadir saat kenduri, Lebaran, atau
sebagai sajian istimewa di rumah makan Padang yang kini menjamur di seluruh
penjuru negeri.
Di kota Bukittinggi, ada sosok yang dengan setia merawat
keaslian rasa dendeng balado: Uni Rina, 45 tahun. Sejak 2003, ia mengelola
sebuah rumah makan kecil yang ramai dikunjungi. Resep yang ia gunakan tak
sekadar bumbu, melainkan warisan keluarga. “Cabai merah keriting ditumbuk
kasar, ditumis bersama bawang merah, lalu diberi sedikit air jeruk nipis.
Rasanya harus seimbang: pedas, gurih, dan asamnya pas,” tutur Uni Rina sambil
tersenyum, sibuk melayani pelanggan yang silih berganti. Yang datang ke warung
Uni Rina tak hanya warga lokal. Ada pula pelancong dari kota-kota besar bahkan
luar negeri. Mereka kembali bukan hanya karena rasa, tapi karena kerinduan.
“Biasanya kalau ke Bukittinggi, mereka bilang: ‘Cari dendeng balado dulu, baru
keliling!’’ kata Uni, matanya berbinar.
Dendeng balado juga hidup di banyak dapur rumah. Bagi Sari,
ibu rumah tangga dari Padang Panjang, memasaknya adalah bentuk penghormatan
pada leluhur. Ia belajar dari neneknya yang dulu memiliki warung makan di
pasar. “Bikin sendiri memang agak repot, dari rebus, jemur, goreng, sampai
tumis sambal. Tapi kalau lihat keluarga makan lahap, semua lelah langsung
hilang,” ceritanya sambil tertawa kecil. Ia pun sering menyesuaikan tingkat
kepedasan agar cocok untuk anak-anaknya.
Kini,
kreasi dendeng balado terus berkembang. Tak hanya daging sapi, tapi juga ada
yang menggunakan ayam, paru, hingga jamur sebagai opsi vegetarian. Namun, versi
klasiknya tetap memikat hati.
Di media sosial, dendeng balado semakin dikenal luas. Banyak
food vlogger yang mencicipi dan merekomendasikannya, membuat makanan ini tak
hanya jadi sajian rumahan tapi juga produk unggulan UMKM. Dengan kemasan modern
dan sertifikasi halal, dendeng balado menjelma jadi oleh-oleh khas yang bisa
dibawa pulang dan dibagikan.
Namun yang paling mengikat dari hidangan ini bukan hanya
rasanya, melainkan makna yang ia bawa. Bagi banyak perantau asal Sumatera
Barat, sepiring dendeng balado bisa jadi jembatan pulang ke kampung halaman.
Dalam tiap gigitan, ada rasa rumah, ada pelukan ibu, dan ada kisah yang tak
pernah selesai diceritakan. Karena dendeng balado bukan cuma soal makan. Ia
tentang identitas, tentang cinta yang dimasak perlahan, dan tentang betapa
makanan bisa menjadi pengingat siapa diri kita.
penulis: Aisyah Mardhiyyah
editor: Ferdyan Siregar
