Dendeng Balado: Cita Rasa Rumah yang Tak Pernah Luntur dari Ingatan

 

Source : https://www.instagram.com/dendengunirina?igsh=d2t6MmxoOWt0ZHgy

Pedasnya memang menggigit, tapi di balik itu, dendeng balado menyimpan lebih dari sekadar kelezatan. Ia adalah kisah panjang dari dapur-dapur Minangkabau kisah tentang tradisi, cinta, dan kenangan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di tengah perubahan zaman dan gelombang modernisasi, hidangan khas Sumatera Barat ini tetap bertahan, menyuarakan identitas yang tak lekang oleh waktu.

Dendeng balado dibuat dari irisan tipis daging sapi yang digoreng hingga kering, lalu disiram sambal balado merah menyala, pedas menggoda, dan sarat rasa. Bagi orang Minang, makanan ini bukan hal asing. Ia adalah bagian dari keseharian dan juga perayaan hadir saat kenduri, Lebaran, atau sebagai sajian istimewa di rumah makan Padang yang kini menjamur di seluruh penjuru negeri.

Di kota Bukittinggi, ada sosok yang dengan setia merawat keaslian rasa dendeng balado: Uni Rina, 45 tahun. Sejak 2003, ia mengelola sebuah rumah makan kecil yang ramai dikunjungi. Resep yang ia gunakan tak sekadar bumbu, melainkan warisan keluarga. “Cabai merah keriting ditumbuk kasar, ditumis bersama bawang merah, lalu diberi sedikit air jeruk nipis. Rasanya harus seimbang: pedas, gurih, dan asamnya pas,” tutur Uni Rina sambil tersenyum, sibuk melayani pelanggan yang silih berganti. Yang datang ke warung Uni Rina tak hanya warga lokal. Ada pula pelancong dari kota-kota besar bahkan luar negeri. Mereka kembali bukan hanya karena rasa, tapi karena kerinduan. “Biasanya kalau ke Bukittinggi, mereka bilang: ‘Cari dendeng balado dulu, baru keliling!’’ kata Uni, matanya berbinar.

Dendeng balado juga hidup di banyak dapur rumah. Bagi Sari, ibu rumah tangga dari Padang Panjang, memasaknya adalah bentuk penghormatan pada leluhur. Ia belajar dari neneknya yang dulu memiliki warung makan di pasar. “Bikin sendiri memang agak repot, dari rebus, jemur, goreng, sampai tumis sambal. Tapi kalau lihat keluarga makan lahap, semua lelah langsung hilang,” ceritanya sambil tertawa kecil. Ia pun sering menyesuaikan tingkat kepedasan agar cocok untuk anak-anaknya.

Kini, kreasi dendeng balado terus berkembang. Tak hanya daging sapi, tapi juga ada yang menggunakan ayam, paru, hingga jamur sebagai opsi vegetarian. Namun, versi klasiknya tetap memikat hati.

Di media sosial, dendeng balado semakin dikenal luas. Banyak food vlogger yang mencicipi dan merekomendasikannya, membuat makanan ini tak hanya jadi sajian rumahan tapi juga produk unggulan UMKM. Dengan kemasan modern dan sertifikasi halal, dendeng balado menjelma jadi oleh-oleh khas yang bisa dibawa pulang dan dibagikan.

Namun yang paling mengikat dari hidangan ini bukan hanya rasanya, melainkan makna yang ia bawa. Bagi banyak perantau asal Sumatera Barat, sepiring dendeng balado bisa jadi jembatan pulang ke kampung halaman. Dalam tiap gigitan, ada rasa rumah, ada pelukan ibu, dan ada kisah yang tak pernah selesai diceritakan. Karena dendeng balado bukan cuma soal makan. Ia tentang identitas, tentang cinta yang dimasak perlahan, dan tentang betapa makanan bisa menjadi pengingat siapa diri kita.



penulis: Aisyah Mardhiyyah

editor: Ferdyan Siregar 

Previous Post Next Post