Serabi bukanlah makanan baru.
Jajanan sederhana dari tepung beras dan santan ini sudah dikenal sejak lama
oleh masyarakat di Sumatera Barat. Dimasak di atas tungku dengan wajan dari
tanah liat, serabi menjadi bagian dari kebiasaan pagi masyarakat pada masa
lampau. Biasanya serabi dijadikan sarapan ringan, atau sajian saat acara adat.
Rasanya manis dengan tekstur lembut di tengah dan agak renyah di pinggir,
sederhana tapi bikin nagih.
Serabi sendiri dipercaya berasal
dari daerah Jawa, lalu menyebar ke berbagai wilayah Indonesia dengan ciri khas
masing-masing. Serabi diperkirakan masuk ke Sumatra Barat pada abad ke-18 hingga awal abad ke-19, saat
hubungan dagang dan perantauan antara Jawa dan pesisir barat Sumatra semakin
intens, terutama melalui pelabuhan-pelabuhan seperti Pelabuhan Pariaman dan Padang. Pada masa kolonial Belanda, banyak
pekerja dan pedagang dari Jawa yang datang ke Sumatra, dan mereka membawa serta
budaya kuliner mereka, termasuk serabi. Di Minangkabau, serabi beradaptasi
dengan bahan lokal dan teknik memasak tradisional.
Di beberapa daerah, nama serabi bisa
berbeda. Di Padang Pariaman disebut serabi bareh, sedangkan di Bukittinggi
dikenal sebagai kue panekuk. Meski beda penyebutan, bahan dan cara masaknya
tetap mirip. Ciri khasnya terletak pada aroma alami dari daun pisang dan
sentuhan rasa gosong dan smooky dari
proses pemanggangan di tungku. Tapi disitulah letak spesial dan khasnnya rasa
serabi.
Serabi tak hanya soal rasa. Ia juga
bagian dari tradisi. Dulu, serabi sering disajikan saat acara seperti Batagak Gala (pemberian gelar adat)
atau makan bajamba di surau atau masjid. Selain jadi camilan, serabi juga jadi
simbol kebersamaan bagi masyarakat, dibuat dan dimakan bersama.
Sekarang, meskipun banyak makanan
kekinian, serabi tetap punya tempat di hati masyarakat. Di pasar-pasar
tradisional seperti Pasar Pariaman,
Pasar Bukittinggi, atau Pasar
Batusangkar, serabi hangat masih laris diburu pembeli. Ada yang
menyajikannya dengan kuah santan ataupun gula merah, ada juga yang menambahkan
pisang serta kelapa parut.
Meski sudah ada versi kekinian
dengan topping modern, banyak yang
tetap memilih versi klasik atau orginalnya. Mungkin karena serabi bukan sekadar
jajanan, tapi bagian dari ingatan akan masa kecil, rumah nenek, atau pagi-pagi
di kampung halaman.
