PADANG - Di sudut dapur Rumah Gadang yang lapuk dimakan usia, tergantung sebuah panyiru tua. Bentuknya bundar, pipih, dan terbuat dari anyaman bambu yang mulai kusam. Meski sederhana, panyiru menyimpan sejarah panjang dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Ia bukan hanya sekadar alat dapur, tetapi juga saksi bisu dari perjalanan budaya.
Panyiru, atau sering kali disebut niru, digunakan untuk menampi beras, mengayak tepung, hingga menjemur hasil kebun seperti cabe atau kelapa. Alat ini melekat dalam keseharian perempuan Minangkabau yang mengelola dapur sebagai pusat kehidupan keluarga. Setiap lembar anyaman bambu, menyiratkan keterampilan dan kesabaran yang dipelajari sejak usia dini. Tak heran, panyiru sering kali dianggap sebagai simbol kerja keras dan keharmonisan dalam rumah tangga.
Dulu, panyiru dibuat secara manual oleh para ibu di nagari dengan bambu yang dipilih khusus. Proses pembuatannya melibatkan teknik anyaman khas yang diwariskan turun-temurun secara lisan. Aktivitas ini kerap dilakukan bersama sebagai bentuk gotong royong dan mempererat relasi antar perempuan. Tak hanya bermanfaat, panyiru juga mencerminkan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam.
Kini, panyiru mulai tersisih oleh alat-alat modern dari plastik dan logam. Meskipun begitu, di beberapa daerah di Sumatera Barat seperti Kota Padang, Agam, Solok Selatan dan beberapa daerah lainnya masih tetap menggunakan alat ini, terutama saat acara adat. Dalam prosesi seperti makan bajamba atau batagak gala, panyiru tetap hadir sebagai simbol budaya. Keberadaannya menjadi pengingat akan pentingnya menjaga warisan nenek moyang.
Sebagai alat dapur, panyiru memang tampak sederhana dan tak mencolok. Namun, di balik bentuknya, masih tersimpan nilai budaya, filosofi hidup, dan identitas perempuan Minangkabau. Setiap helai anyamannya adalah bagian dari sejarah warisan yang tak boleh dilupakan.
penulis: Annisa F. Diusti
editor: Pretti Sinta Mahendra
